SUMEDANG kaya akan mitos. Sebagian masyarakat tetap memelihara mitos-mitos tersebut. Salah satunya yang cukup menggelitik adalah adanya uga ‘Sumedang Ngarangrangan’. Uga seolah merupakan pembenaran dari keadaan sekarang, yang oleh sebagian orang tidak lebih baik dari tempo dulu. Uga adalah untaian kata atau kalimat yang secara simbolis berisi ramalan leluhur tentang keadaan yang dihadapi pada suatu waktu nanti.
Munculnya uga ‘Sumedang Ngarangrangan’ menurut Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, MS secara historis dapat dilacak ke masa silam. Karena Raden Djamu masih kecil (kelak lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Kusumahdinata IX alias Pangeran Kornel) ketika ayahandanya wafat, maka pemerintah VOC mengangkat keturunan dari Parakanmuncang sebagai Bupati, berkuasa dari 1773-1791. Situasi yang tidak nyaman ini karena Sumedang tidak dipimpin oleh keturunan Sumedang sendiri, menimbulkan uga ‘Sumedang Ngarangrangan’. Kata ngarangrangan menunjukkan pohon yang daunnya berguguran dengan dahan yang kering meranggas (konon sebagian orang menyebutkan seperti halnya “Monumen Endog”, yang tidak ada isinya…?)
Keadaan ngarangrangan pada waktu itu lebih terasa lagi oleh Bupati ketika mereka diangkat menjadi pegawai Kerajaan Belanda yang hanya menerima gaji. Bupati yang berkuasa sebagai Raja tentu merasa hak istimewanya dikurangi dengan hanya menerima gaji. Seluruh bupati di Jawa dan Madura sama, mengalami birokratisasi ini.
Sekarang boleh jadi bagi Sumedang, ngarangrangan mencapai puncaknya setelah adanya Bendungan Jatigede. Selain Jatigede yang menenggelamkan peninggalan arkeologis dari masa Tembong Agung, dengan jalan Tol Cisumdawu serta Bandara Internasional di Kertajati, Sumedang pun akan benar-benar menjadi kota yang “stagnant”.
0 komentar:
Posting Komentar